Guru No Emosi, Siswa Happy
Oleh: Nur Lailiyah, S.Pd, M.Pd
Dalam dunia pendidikan yang semakin kompleks, peran guru telah berevolusi jauh dari sekadar penyampaian materi pelajaran. Saat ini, guru dituntut untuk menjadi fasilitator, motivator, dan bahkan pendukung emosional bagi siswa. Sehingga salah satu aspek yang paling penting dalam menciptakan lingkungan belajar yang positif adalah kemampuan guru dalam mengelola emosi mereka sendiri.
Emosi adalah bagian integral dari pengalaman manusia, termasuk bagi para guru yang berperan sebagai pendidik dan pembimbing. Namun, emosi yang tidak terkelola dengan baik dapat menimbulkan dampak negatif, baik bagi guru itu sendiri maupun bagi siswa yang mereka ajar.
Dalam konteks pendidikan, guru sering kali menghadapi tekanan yang berasal dari berbagai sumber. Seperti tuntutan kurikulum, perilaku siswa, dan ekspektasi dari orang tua serta pihak sekolah. Ketidakmampuan untuk mengelola emosi dalam situasi-situasi tersebut dapat mengakibatkan dampak buruk, seperti stres, kecemasan, dan bahkan burnout.
Penelitian menunjukkan bahwa guru yang tidak mampu mengelola emosinya dapat menciptakan lingkungan belajar yang tidak kondusif, yang pada akhirnya berpengaruh pada hasil belajar siswa. (Sutton & Wheatley, 2003).
Dampak Positif dari kemampuan guru dalam mengelola emosi dengan baik, salah satunya dapat menciptakan suasana belajar yang nyaman dan kondusif. Guru yang tenang dan bersemangat dapat memotivasi siswa untuk terlibat aktif dalam proses pembelajaran. Di samping itu Emosi guru yang positif dapat menular kepada siswa.
Ketika guru menunjukkan antusiasme dan ketulusan, siswa cenderung merespons dengan keterlibatan yang lebih tinggi. Mereka merasa dihargai dan didukung, yang tentu saja dapat berkontribusi pada peningkatan kepercayaan diri dan motivasi belajar mereka. Dalam konteks ini, kebahagiaan siswa bukan hanya hasil dari pencapaian akademis, tetapi juga dari pengalaman emosional yang positif di sekolah.
Dampak negatif dari emosi yang tidak terkelola juga dapat terlihat dalam interaksi guru-siswa. Emosi negatif, seperti kemarahan atau frustrasi, dapat menciptakan jarak antara guru dan siswa, yang mengakibatkan siswa merasa tidak nyaman untuk berpartisipasi aktif dalam pembelajaran.
Hal ini sejalan dengan temuan yang dipaparkan oleh Zembylas (2003) yang menyatakan bahwa emosi guru memiliki pengaruh signifikan terhadap dinamika kelas dan motivasi siswa. Ketika guru tidak mampu mengelola emosinya, mereka dapat berperilaku defensif atau agresif, yang dapat menghambat proses pembelajaran yang efektif.
Mengelola emosi adalah keterampilan yang penting bagi guru. Berdasarkan literatur yang ada, ada dua sisi dari pengelolaan emosi: positif dan negatif. Di satu sisi, pengelolaan emosi yang baik dapat meningkatkan kualitas pengajaran.
Guru yang mampu mengontrol emosinya cenderung lebih mampu menciptakan lingkungan belajar yang positif, di mana siswa merasa aman dan didukung. Hal ini berkontribusi pada peningkatan motivasi dan keterlibatan siswa dalam proses belajar. (Berkovich & Eyal, 2017). Emosi positif, seperti antusiasme dan empati, dapat menular kepada siswa dan menciptakan suasana kelas yang lebih produktif.
Namun, di sisi lain, emosi negatif yang tidak terkelola dengan baik dapat berakibat fatal. Penelitian menunjukkan bahwa guru yang sering mengalami stres atau kecemasan dapat mengalami penurunan kinerja dan efektivitas dalam mengajar.(Scherer, 2005).
Emosi negatif dapat menyebabkan guru mengambil keputusan yang impulsif, berinteraksi secara negatif dengan siswa, dan bahkan mempengaruhi kesehatan mental mereka. Dalam jangka panjang, hal ini dapat menyebabkan tingginya tingkat turnover di kalangan guru, yang berdampak negatif pada stabilitas pendidikan di sekolah.
Mengelola Emosi
Salah satu cara agar guru dapat mengelola emosi dengan lebih baik adalah dengan menerapkan teknik regulasi emosi. Menurut Gross (1998), ada beberapa strategi yang dapat digunakan untuk mengelola emosi, seperti pengalihan perhatian, perubahan kognisi, dan pengaturan perilaku.
Misalnya, saat menghadapi situasi yang membuat frustrasi, guru dapat berusaha untuk mengalihkan perhatian pada aspek positif dari situasi tersebut atau mengganti pola pikir negatif dengan afirmasi yang lebih konstruktif. Selain itu, latihan mindfulness juga dapat menjadi alat yang efektif bagi guru untuk meningkatkan kesadaran akan emosi mereka dan mengurangi stres.
Agar guru tidak emosional ketika mengajar dan berada di lingkungan sekolah, beberapa langkah konkrit dapat diambil. Pertama, sekolah bisa menyediakan pelatihan tentang pengelolaan emosi bagi guru. Pelatihan yang diadakan dapat berupa teknik-teknik regulasi emosi, komunikasi efektif, dan strategi untuk menciptakan lingkungan kelas yang positif. Dengan membekali guru terkait hal tersebut, mereka dapat lebih siap menghadapi tantangan emosional yang muncul di dalam kelas.
Kedua, menciptakan budaya dukungan di lingkungan sekolah. Sekolah dapat membentuk kelompok dukungan atau forum di mana guru dapat berbagi pengalaman, mendapatkan umpan balik, dan belajar dari satu sama lain. Dengan adanya dukungan sosial, guru dapat merasa lebih terhubung dan tidak sendirian dalam menghadapi tantangan emosional yang mereka alami.
Ketiga, guru perlu melakukan refleksi diri secara berkala. Dengan meluangkan waktu untuk merenungkan pengalaman mengajar dan bagaimana emosi mereka berperan dalam situasi tertentu, guru dapat mengidentifikasi pola perilaku yang perlu diperbaiki. Dalam proses ini, mereka dapat lebih memahami bagaimana emosi mereka memengaruhi interaksi dengan siswa dan menemukan cara untuk mengubah pola tersebut menjadi lebih positif.
Akhirnya, menjaga keseimbangan antara pekerjaan dan kehidupan pribadi juga merupakan kunci untuk mengelola emosi. Guru perlu memberikan perhatian kepada diri mereka waktu untuk bersantai, berolahraga, dan melakukan aktivitas yang mereka nikmati. Dengan cara ini, mereka dapat mengurangi stres dan meningkatkan kesejahteraan mental, yang akan membantu mereka menjadi pendidik yang lebih baik.
Mengelola emosi adalah keterampilan yang sangat penting bagi guru. Dengan memahami dampak emosi mereka terhadap proses pembelajaran, guru dapat mengambil langkah-langkah untuk mengelola emosi dengan lebih baik, menciptakan lingkungan belajar yang positif, dan meningkatkan kualitas pendidikan.
Melalui pelatihan, dukungan, refleksi diri, dan menjaga keseimbangan hidup, guru dapat mengatasi tantangan emosional dan memberikan pengalaman belajar yang lebih baik bagi siswa mereka. Mari kita dukung para guru untuk terus mengasah kemampuan mengelola emosi diri, karena mereka memiliki kekuatan untuk membentuk masa depan yang lebih baik bagi generasi mendatang.(*)