Jl. Terusan Piranha Atas No.135 Malang [email protected]
Follow us:
Sekolah Islam Sabilillah Malang - SISMA

Fenomena “Stecu”: Bahasa Gaul Anak Muda yang Kini Jadi Sorotan

28 April 2025

Oleh: Alfia Sari, M.Pd

Di tengah derasnya arus tren digital dan musik yang silih berganti, sebuah lagu berjudul “Stecu” yang merupakan singkatan dari “Setelan Cuek” yang dinyanyikan oleh Faris Adam, tiba-tiba mencuat ke permukaan dan merebut perhatian jutaan anak muda. Singkatan kata atau akronim menjadi tren yang digandrungi oleh anak-anak muda saat ini. Tak hanya kata “stecu” singkatan kata lainnya seperti FOMO (Fear of Missing Out), IDK (I don’t know), OVT (Overthinking), POV (Point of View) menjadi bahasa komunikasi sehari-hari bagi kalangan anak muda saat ini. Fenomena “Stecu” bukan sekadar soal irama yang catchy atau hook yang mudah diingat, tapi juga cerminan dari cara baru anak muda merespons dunia di sekitar mereka. Anak muda sekarang lebih menyukai hal-hal yang cepat dan praktis.

SEBENARNYA penggunaan bahasa singkatan sudah sering dipakai sejak dulu untuk alasan efisiensi, terutama dalam surat menyurat. Di era 70-90 an, anak muda zaman dulu juga memiliki bahasa singkatan khas. Seperti “BT” = bete dan “PDKT” = pendekatan. Akan tetapi perkembangan bahasa terbatas oleh media sehingga penyebaran dan inovasi bahasa lebih lambat, karena hanya mengandalkan media cetak, radio, atau televisi. Sejak tahun 2000, revolusi digital membuat bahasa singkatan semakin meledak. Hal ini dipengaruhi oleh perkembangan digital yang membuat hidup di dunia yang super cepat dan berinteraksi lintas platform dan negara semakin mudah, sehingga bahasa singkatan menjadi lebih masif, variatif, dan viral.

Di era digital yang serba instan, anak muda cenderung menyingkat kata untuk berkomunikasi lebih efisien, terutama di pesan singkat atau media sosial. Misalnya, “OTW” untuk “On The Way”. Singkatan seperti ini menjadi bagian dari gaya komunikasi dan identitas mereka. Gen Z dan Gen Alpha kerap menggunakan “kode rahasia” seperti “YTTA”, “FOMO”, “SABI”, atau “POV” yang hanya dipahami oleh sesama anggota komunitas. Ini mencerminkan sifat mereka yang kreatif dan ekspresif. Singkatan seperti “NOLEP” (No life) bahkan memuat unsur humor dan ironi, menjadikan bahasa singkatan sebagai bentuk seni komunikasi anak muda masa kini.

Fenomena menyingkat kata juga menjadi strategi anak muda masa kini dalam menemukan cara unik untuk menyesuaikan diri. Bukan hanya untuk sekadar gaya-gayaan, bahasa singkatan kini telah menjadi alat komunikasi digital yang efisien, ekspresif, dan identitasik bagi Gen Z. Hal ini tidak jauh berkaitan dengan berkembang teknologi platfrom komunikasi digital seperti WhatsApp, Instagram, TikTok, hingga Twitter/X yang mendorong pengguna untuk menyampaikan pesan secepat mungkin, seringkali dengan karakter terbatas. Bahasa singkatan seperti “OTW” (on the way) atau “IDK” (I don’t know) menjadi solusi untuk komunikasi cepat tanpa kehilangan makna. Moto mereka “ketik sedikit, pahamnya banyak”.

Dengan berkembangnya inovasi dan teknologi, komunikasi digital memaksa bahasa untuk terus berevolusi. Di ruang digital, bahasa tidak lagi saklek dan kaku. Akan tetapi mementingkan pesan yang dapat tersampaikan dengan baik, emosi terkoneksi, dan konteks dapat dipahami. Maka tak heran jika singkatan jadi “mata uang” utama dalam percakapan online. Jika dimaknai secara positif, penggunaan singkatan-singkatan kata bukan berarti dangkal, akan tetapi justru sebaliknya. Ia adalah cara baru anak muda mengoptimalkan komunikasi di dunia serba cepat, serba visual, dan serba terkoneksi.

Lalu, bagaimana pendidik menyikapi maraknya bahasa singkatan di kalangan anak muda? Alih-alih langsung menilai negatif, pendidik sebaiknya memahami konteks dan fungsi singkatan sebagai bentuk ekspresi, efisiensi, dan identitas digital anak muda. Gunakan bahasa singkatan sebagai pintu masuk untuk membangun kedekatan dengan mereka. Pendidik bisa menyisipkan bahasa singkatan secara kontekstual pada saat berkomunikasi dengan mereka. Pendidik juga dapat memanfaatkan fenomena ini dalam pembelajaran kreatif terutama dalam pembelajaran Bahasa. Misalnya, menganalisis linguistik dari singkatan popular, membuat glosarium istilah gaul, dan diskusi tentang evolusi bahasa digital. Sehingga pembelajaran terasa lebih kontekstual dan tidak membosankan.

Selain itu sangat penting untuk mengedukasi siswa bahwa setiap gaya bahasa memliki tempatnya masing-masing seperti kapan, dimana, dan dengan siapa bahasa itu digunakan. Singkatan sah-sah saja digunakan di media sosial atau obrolan santai, tetapi anak muda juga harus tahu kapan pakai bahasa formal harus digunakan, seperti saat menulis esai, email resmi, wawancara kerja, atau berbicara dengan orang yang lebih tua dan dihormati seperti guru, orang tua, keluarga, dan sebagainya. Pendidik memiliki peran penting sebagai model pengguna bahasa yang fleksibel, kritis, dan bijak. Dengan begitu, siswa bisa melihat bahwa kemampuan berbahasa itu bukan soal “formal vs gaul”, tapi tentang tahu kapan dan bagaimana menggunakan keduanya dengan tepat. Oleh karena itu pendidik harus memahami bahwa bahasa singkatan saat ini adalah realitas komunikasi digital anak muda. Bukan hal yang harus dilawan, tapi untuk dipahami, dimanfaatkan, dan dijadikan bahan edukasi yang relevan. (*)

Sumber : https://tabloidjawatimur.com/fenomena-stecu-bahasa-gaul-anak-muda-yang-kini-jadi-sorotan/

Translate