05 May 2025
Oleh: Diah Budiarti, M.Pd.
Di tengah maraknya film horor yang menghiasi bioskop dan layar kaca, masyarakat justru sedang mengalami ketakutan lain yang tak kalah mencekam. Ketakutan tersebut salah satunya ketakutan terhadap sebuah diksi yang semula bermakna netral bahkan positif. Kata itu adalah efisiensi.
Di berbagai lini kehidupan, dari dunia pendidikan hingga birokrasi pemerintahan, efisiensi kini bukan sekadar jargon manajemen modern. Ia telah menjelma menjadi “makhluk gaib” yang kerap dijadikan alasan pembenaran atas pengurangan, pemangkasan, maupun penghapusan banyak hal yang sebelumnya dianggap penting. Seolah-olah setiap keputusan kontroversial akan serta merta dimaafkan jika dibungkus dengan alasan efisiensi.
Efisiensi sejatinya adalah konsep yang mulia. Ia berbicara tentang bagaimana mencapai hasil maksimal dengan sumber daya seminimal mungkin. Dalam teori manajemen dan ekonomi, efisiensi adalah indikator keberhasilan sistem. Namun dalam praktik keseharian, terutama di sektor publik dan pendidikan, efisiensi seringkali disalahgunakan. Bahkan, tidak sedikit orang yang kini kerap menggunakannya tanpa memahami makna dan konteks sejatinya dari efisiensi itu sendiri.
Di berbagai sekolah, mulai terdengar serba-serbinya berupa alibi efisiensi. Pemangkasan terjadi di segala kegiatan. Hal ini cukup membuat kering dan tak lagi menggugah semangat. Celakanya, efisiensi kini dianggap sebagai “harga mati.” Inilah yang membuatnya menyerupai hantu dalam film horor. Ia datang tiba-tiba sebagai sosok yang menakutkan dan sulit dilawan. Ketika semangat pengembangan mulai redup karena terbentur alasan efisiensi, kita patut bertanya: apakah kita benar-benar sedang mengelola sumber daya dengan cerdas, atau hanya sedang mencari jalan pintas untuk menghindari tanggung jawab dan kerja keras?
Dalam dunia kerja, terutama di pemerintahan dan lembaga-lembaga publik, efisiensi telah menjadi tameng untuk segala bentuk pemangkasan. Program-program strategis yang memerlukan investasi jangka panjang sering dikorbankan demi laporan keuangan yang tampak ramping. Di permukaan, tampaknya ini langkah bijak. Namun jika ditelisik lebih dalam, pengorbanan terhadap program yang berorientasi masa depan seperti pendidikan karakter, inovasi teknologi, atau pengembangan SDM justru berpotensi membuat bangsa ini stagnan. Efisiensi seharusnya menjadi alat bantu pengambilan keputusan, bukan ideologi kaku yang menggerus daya pikir kritis. Ketika inovasi mati karena alasan efisiensi, maka sesungguhnya kita sedang membunuh masa depan demi kenyamanan sesaat.
Mengapa kata efisiensi kini terasa menakutkan? Barangkali karena penggunaannya kerap tidak disertai dengan transparansi, empati, atau pemahaman konteks. Yang terdengar hanya satu narasi: “Tidak ada dana,” seakan-akan itu adalah alasan pamungkas yang tidak bisa diperdebatkan. Padahal, publik punya hak untuk tahu: mengapa dananya tidak ada? Ke mana larinya anggaran? Apakah benar-benar digunakan secara efisien, atau hanya dialihkan tanpa kejelasan?
Efisiensi menjadi “horor” karena ia seringkali muncul tanpa dialog. Ia datang sebagai keputusan sepihak, dan yang terdampak hanya bisa pasrah. Dalam suasana seperti itu, tidak heran jika publik mulai sinis bahkan apatis terhadap berbagai program pembangunan, termasuk dalam dunia pendidikan.
Lalu bagaimana seharusnya kita menyikapi efisiensi? Pertama, perlu ada pembedahan makna. Efisiensi bukan berarti memangkas tanpa pikir panjang. Hal tersebut merupakan hasil dari evaluasi cermat dan pengelolaan yang bijak. Jika suatu program tidak efisien, jangan langsung dihapus, coba kaji dulu apa penyebab ketidakefisienannya? Bisa jadi solusinya bukan menghilangkan tapi mereformasi cara pelaksanaannya.
Kedua, komunikasi yang jujur dan terbuka. Ketika pengambilan keputusan menyangkut efisiensi dilakukan secara terbuka dengan melibatkan pemangku kepentingan, rasa kepercayaan akan tumbuh. Tidak ada lagi kesan “hantu” yang tiba-tiba muncul dari balik tirai keputusan sepihak. Ketiga, efisiensi harus selalu dikaitkan dengan dampak jangka panjang. Jangan hanya melihat penghematan jangka pendek, tapi pertimbangkan pula konsekuensi jangka panjang terhadap kualitas pendidikan, mental generasi muda, dan semangat inovasi.
Efisiensi bukanlah musuh. Ia hanya menjadi horor ketika kehilangan makna dan dipakai secara membabi buta. Di tengah masyarakat yang makin kritis dan dunia yang semakin kompetitif, kita tidak bisa terus-menerus bersembunyi di balik alasan efisiensi untuk menutupi stagnasi.
Saatnya kita cerdas dalam menggunakan kata ini bukan sebagai tameng untuk menolak perubahan, melainkan sebagai alat untuk mempercepat kemajuan. Efisiensi sejati bukan sekadar pemangkasan anggaran atau pengurangan sumber daya, tetapi kemampuan untuk mengelola segala potensi secara optimal, tanpa mengorbankan kualitas, martabat, dan visi jangka panjang.
Lebih dari sekadar strategi, efisiensi harus menjadi bagian dari semangat inovasi. Kita perlu mendorong budaya berpikir kreatif dan berani mengambil keputusan strategis yang berdampak optimalisasi positif bagi masa depan. Mari kita jadikan efisiensi sebagai jalan menuju mutu, bukan alasan pembenaran kemunduran. Yang terpenting, mari kita jaga semangat pendidikan dan pembangunan agar tidak ikut terbunuh oleh ketakutan semu. Sebab masa depan bangsa ini bukan ditentukan oleh seberapa hemat kita memangkas, melainkan seberapa cerdas kita berinvestasi pada hal yang benar-benar memberi nilai dan perubahan berarti.(*)
Horor Itu Bernama Efisiensi
05 May 2025
SNBT Ajang Pembuktian
03 May 2025
Digitalisasi, Phygitalisasi dan Scaffolding
28 April 2025