22 April 2025
Oleh: Anisa Wahyuningrum, S.Pd
Kurikulum Cambridge merupakan salah satu sistem pendidikan internasional yang saat ini banyak diadopsi di berbagai negara. Kurikulum ini menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar utama dan dirancang untuk membekali siswa dengan kemampuan berpikir kritis, pemecahan masalah, serta keterampilan akademik yang kuat di berbagai bidang.
Namun, penerapan kurikulum ini di negara-negara di mana bahasa Inggris bukan bahasa pertama, seperti Indonesia, tentu menghadirkan tantangan tersendiri. Khususnya ketika siswa masih dalam tahap mengembangkan kemampuan berbahasa mereka.
Untuk menghadapi tantangan tersebut guru bisa mengaplikasikan praktik code-switching. Code-switching adalah peralihan antara bahasa Inggris dan bahasa ibu, dan merupakan salah satu fenomena yang kerap muncul dalam proses pembelajaran bilingual.
Menurut Myers-Scotton (1993), code-switching bukan sekadar pergantian bahasa yang terjadi secara spontan, melainkan sebuah strategi komunikasi yang digunakan untuk mencapai tujuan tertentu. Misalnya, untuk mempermudah pemahaman, membangun kedekatan sosial, atau menunjukkan identitas linguistik.
Dalam konteks pembelajaran Cambridge, code-switching kerap menjadi jembatan yang membantu siswa memahami materi yang disampaikan oleh guru. Di jenjang kelas bawah, penggunaan code-switching cukup umum ditemukan. Guru biasanya menyisipkan bahasa ibu saat menjelaskan materi yang dirasa cukup kompleks, sementara siswa pun merasa lebih percaya diri ketika dapat mengekspresikan ide mereka dalam bahasa yang lebih familiar.
Meski demikian, ada perdebatan mengenai implementasinya. Di satu sisi, code-switching dianggap membantu proses belajar. Di sisi lain, ada kekhawatiran apabila code-switching diaplikasikan terlalu sering justru dapat menghambat penguasaan bahasa Inggris siswa.
Jika diamati lebih dekat, ada beberapa bentuk code-switching yang sering muncul di kelas Cambridge. Myers-Scotton mengidentifikasi beberapa jenis utama code-switching. Inter-sentential switching: Pergantian bahasa antar kalimat. Misalnya, guru memberi instruksi dalam bahasa Inggris, lalu mengulangi penjelasan dalam bahasa Indonesia agar lebih mudah dipahami.
Intra-sentential switching: Pergantian bahasa dalam satu kalimat. Contoh umum: “Miss, I don’t understand this question, boleh dijelaskan lagi?” Tag-switching: Penyisipan kata atau frasa dari bahasa lain ke dalam kalimat utama. Misalnya, guru berkata, “This is called rigid, ya, keras.”
Penggunaan ketiga bentuk ini biasanya terjadi secara alami, terutama ketika siswa masih berada di tahap awal belajar bahasa Inggris. Beberapa faktor turut mempengaruhi frekuensi code-switching dalam kelas. Pertama, keterbatasan kosakata. Siswa yang masih belajar bahasa Inggris cenderung kembali ke bahasa ibu saat kesulitan menemukan padanan kata yang tepat.
Kedua, tingkat kesulitan materi. Di pelajaran seperti Sains atau Matematika yang butuh banyak penalaran, guru biasanya memakai bahasa ibu sesekali supaya siswa tetap mengerti inti materi yang disampaikan. Ketiga, strategi pengajaran guru. Ada guru yang sengaja menggunakan code-switching sebagai alat bantu, tanpa mengurangi eksposur siswa terhadap bahasa Inggris. Keempat, faktor sosial dan psikologis. Rasa percaya diri dan kenyamanan sering memengaruhi kecenderungan mereka untuk beralih bahasa.
Dari sisi manfaat, code-switching bisa sangat membantu. Misalnya, siswa lebih cepat memahami materi ketika guru sesekali menjelaskan ulang dalam bahasa ibu. Selain itu, fleksibilitas bahasa juga membuat suasana kelas lebih nyaman dan interaktif, sekaligus meningkatkan rasa percaya diri siswa yang belum sepenuhnya fasih berbahasa Inggris.
Namun, implementasinya pasti dibarengi dengan tantangan. Salah satu kekhawatiran utama adalah penggunaan code-switching yang terlalu sering dapat menghambat kemajuan siswa dalam berbahasa Inggris sebab siswa tidak mendapat eksposure bahasa Inggris yang cukup. Bila guru tidak konsisten dalam mengatur kapan menggunakan bahasa Inggris atau bahasa ibu, siswa bisa saja bingung dan tidak terlatih menggunakan bahasa Inggris secara aktif.
Agar manfaat code-switching optimal, penting bagi guru untuk mengelolanya dengan bijak. Misalnya, guru bisa menggunakan bahasa ibu hanya pada saat-saat tertentu. Seperti ketika menjelaskan konsep sulit, dan tetap menjaga komunikasi sehari-hari dalam bahasa Inggris atau pada saat memberikan instruksi dalam pembelajaran. Memberikan tantangan kecil kepada siswa, seperti meminta mereka untuk mencoba menjawab dalam bahasa Inggris meski penjelasan sebelumnya menggunakan bahasa ibu, juga bisa membantu.
Selain itu, keterlibatan orang tua di rumah turut memegang peran penting. Orang tua bisa membantu dengan menyediakan lingkungan berbahasa Inggris di luar sekolah terutama di rumah, sehingga siswa terbiasa menggunakan kedua bahasa secara seimbang.
Pada akhirnya, code-switching merupakan fenomena alami yang tidak dapat dihindari dalam proses belajar di kelas Cambridge, terutama bagi siswa yang masih mengembangkan keterampilan bahasa mereka. Kunci utamanya adalah pengelolaan yang tepat agar tercipta keseimbangan antara penggunaan bahasa ibu dan eksposur bahasa Inggris.
Dengan pengelolaan yang baik, siswa tetap dapat memahami konsep atau materi pelajaran dengan jelas, tanpa mengurangi kesempatan mereka untuk melatih kemampuan bahasa Inggris. Lingkungan belajar pun bisa tetap terasa nyaman bagi siswa tanpa mengurangi rasa percaya diri mereka, sehingga dapat mendorong perkembangan akademik dan kemampuan bahasa siswa secara optimal.(*)
LINK: https://malangposcomedia.id/code-switch-jembatan-bahasa-kurikulum-cambridge/
Code-switch Jembatan Bahasa Kurikulum Cambridge
22 April 2025
Keberlanjutan Amalan Kebaikan Ramadan
19 March 2025
Membiasakan Berpuasa Sejak Dini dengan Deep Learning
11 March 2025
Supervisi Bukan Tantangan, Tapi Kesempatan!
31 January 2025
Biblioterapi Solusi Atasi Mental Siswa
24 January 2025