19 March 2025
Oleh: Iva Yuanita Andriani, S.Pd
Ramadan tiba, tiba-tiba ibadah jadi number one, tiba-tiba penampilan jadi sorotan. Setiap Ramadan, kita melihat perubahan drastis di sekitar kita. Masjid mendadak penuh, timeline media sosial dipenuhi kutipan religius, dan orang-orang berlomba-lomba menjadi lebih baik. Tapi, setelah takbir Idul Fitri berkumandang, ke mana perginya semangat itu? Apakah ini pertanda perubahan sejati, atau hanya tren musiman yang datang dan pergi?
Ramadan seperti tombol reset bagi banyak orang. Ada suasana yang memang mendukung seperti lingkungan religius, ajakan kebaikan di mana-mana, serta motivasi spiritual yang meningkat. Ditambah lagi, ada dorongan sosial—siapa sih yang mau ketinggalan dalam tren kebaikan?
Tapi sayangnya, perubahan ini sering kali bersifat instan. Banyak yang hanya “terbawa arus”, bukan benar-benar membangun kebiasaan baru. Hasilnya? Setelah Ramadan, kebiasaan baik pun ikut berpuasa—mungkin saja hanya bertahan sampai tahun depan.
Ramadan membawa atmosfer spiritual yang kuat, tapi kalau perubahan hanya terjadi karena suasana, begitu atmosfer itu hilang, semangatnya ikut lenyap. Dari yang jarang ke masjid tiba-tiba ingin salat lima waktu berjamaah setiap hari. Dari yang jarang baca Al-Qur’an, langsung target khatam sebulan.
Kalau tidak dibangun perlahan, perubahan ini bisa terasa terlalu berat untuk dipertahankan. Saat Ramadan, kita dikelilingi oleh motivasi dan dukungan. Tapi setelahnya? Kembali ke rutinitas biasa, dan tanpa lingkungan yang mendorong, kebiasaan baik pun ikut memudar.
Jika Ramadan bisa menjadi titik awal perubahan, mengapa tidak? Justru yang harus kita lakukan adalah memastikan bahwa perubahan itu tidak berhenti di sana. Fenomena ini bisa dimanfaatkan sebagai langkah awal untuk membangun kebiasaan baik secara permanen.
Namun, kita juga harus berhati-hati agar tidak terjebak dalam “pencitraan Ramadan.” Banyak orang tergoda untuk menunjukkan sisi terbaiknya hanya selama bulan ini, entah untuk validasi sosial atau sekadar ikut tren. Padahal, perubahan sejati tidak butuh panggung atau sorotan, tapi konsistensi dalam jangka panjang.
Supaya tidak asal menjadi tren Ramadan, bagaimana caranya untuk istiqomah dalam kebaikan? Pertama-tama adalah jangan langsung memiliki target tinggi. Cukup satu perubahan kecil yang bisa dilakukan setiap hari. Kuncinya ada di konsistensi! Kalau perubahan hanya berdasarkan perasaan sementara, pasti cepat hilang. Coba buat target yang realistis dan bertahap, bukan hanya saat Ramadan, tapi untuk seterusnya.
Kedua, cari teman atau komunitas yang bisa membantu kamu tetap on track. Kalau tidak ada yang mengingatkan, kita cenderung kembali ke kebiasaan lama. Tak kalah penting, setelah Ramadan berakhir, luangkan waktu untuk refleksi. Apa yang berhasil kita pertahankan? Apa yang masih sulit dilakukan?
Evaluasi ini membantu kita memahami pola perubahan kita dan mencari solusi agar tetap berlanjut. Jangan takut jatuh, yang penting harus bangkit lagi. Ada kalanya kita kembali ke kebiasaan lama, dan itu wajar. Yang penting adalah bagaimana kita menyadarinya dan kembali berusaha. Jangan sampai kegagalan sesaat membuat kita menyerah.
Selain itu, membangun rutinitas spiritual pasca-Ramadan juga bisa dilakukan dengan cara-cara sederhana. Misalnya, jika selama Ramadan kita terbiasa membaca Al-Qur’an satu juz per hari, setelah Ramadan kita bisa menyesuaikan dengan membaca satu halaman per hari. Begitu juga dengan salat berjamaah, bisa dimulai dengan istiqomah salat Subuh di masjid sebelum perlahan menambah jumlahnya. Kunci utama adalah keberlanjutan, bukan hanya performa puncak di bulan Ramadan.
Selain ibadah, Ramadan juga bisa menjadi momentum untuk perbaikan diri dalam aspek lain, seperti kedisiplinan, pengelolaan waktu, dan hubungan sosial. Misalnya, selama Ramadan kita lebih disiplin dalam mengatur waktu makan dan tidur, mengapa tidak melanjutkan kebiasaan ini setelahnya?
Mengatur jadwal tidur yang lebih baik dapat membantu kita lebih produktif dan sehat secara fisik maupun mental. Begitu pula dengan kebiasaan berbagi dan meningkatkan kepedulian terhadap sesama, seharusnya tidak berhenti hanya karena Ramadan telah usai.
Kita juga bisa menggunakan Ramadan sebagai ajang untuk introspeksi diri. Apa yang perlu kita tingkatkan dalam diri kita? Apakah kita lebih sabar? Lebih peduli terhadap sesama? Atau lebih bertanggung jawab dalam pekerjaan dan kehidupan? Perubahan yang bertahan adalah yang dimulai dengan niat tulus dan dilakukan secara bertahap. Jangan merasa harus menjadi pribadi yang sempurna dalam sekejap. Fokuslah pada progres, bukan kesempurnaan.
Ramadan itu start, bukan finish line! Tak mengapa jika perubahan baik kita dimulai dari Ramadan. Yang jadi masalah adalah kalau kita menganggap Ramadan sebagai “event tahunan” tanpa niat mempertahankannya. Ramadan harusnya jadi titik awal, bukan sekadar puncak spiritualitas tahunan.
Jadi, setelah Ramadan ini, apakah kita tetap lanjut self-improvement? Atau kita biarkan semua ini menguap seperti uap teh hangat saat sahur? Pilihannya ada di tangan kita! Karena pada akhirnya, bukan seberapa luar biasa kita di bulan Ramadan yang menentukan siapa diri kita, tetapi seberapa konsisten kita setelahnya. Ramadan boleh berakhir, tapi perjalanan menuju diri yang lebih baik tidak pernah ada kata akhir.(*)
LINK: LINK BERITA
Keberlanjutan Amalan Kebaikan Ramadan
19 March 2025
Membiasakan Berpuasa Sejak Dini dengan Deep Learning
11 March 2025
Supervisi Bukan Tantangan, Tapi Kesempatan!
31 January 2025
Biblioterapi Solusi Atasi Mental Siswa
24 January 2025
Literasi dan Numerisasi Pada Anak Usia Dini
21 January 2025